(Desantara Foundation, Jakarta, 5 Agustus 2010)
Bagi saya, topik bencana Lumpur Lapindo adalah bahasan yang basi setelah empat tahun dibiarkan tanpa tindak lanjut dari pihak terkait. Jauh berbeda dengan video lipsync Keong Racun yang dipopulerkan oleh Sinta dan Jojo, yang mendapat reaksi begitu cepat di media dan dunia nyata. Bertahan selama seminggu sebagai trending topic di Twitter, diwawancarai infotainment sana-sini dan "dihantui" kepopuleran. Selain itu, mereka mendapat anugerah setimpal berupa kerja sama profesional di bawah manajemen Charly ST-12 (ya, Anda betul, band flamboyan itu) dan mendapatkan beasiswa penuh hingga lulus kuliah, karena dianggap menaikkan status tempat perkuliahannya (sungguh, ini alasan yang aneh). Saya tidak habis pikir, empat tahun penuh penderitaan kalah telak dengan satu minggu selebritas instan.
Pada tanggal 5 Agustus 2010 lalu bertempat di gedung Jakarta Design Centre, Slipi, Desantara Foundation bekerja sama dengan Lafadl Initiatives mengadakan peluncuran buku kumpulan tulisan dengan tema bencana industri. Dominasi tulisan Bosman Batubara tentang banjir lumpur Sidoarjo, membuat tulisan lain di buku ini "kalah pamor". Padahal pembahasannya menurut saya tak kalah menarik, antara lain: permasalahan bencana versus perubahan sejarah kepemilikan tanah di Tanah Toa, Sulawesi Selatan, pengelolaan sumber daya alam berupa air di Pegunungan Kendeng Utara dan gas alam di Bojonegoro. Mungkin, memang ada baiknya, seperti yang disebutkan di prakata editor, kalau buku ini muncul sendiri-sendiri.
Presentasi Bosman membuat saya shock secara visual, bukan karena lumpur Lapindo yang sudah tidak bisa ditolong lagi, tapi karena slide presentasi milik Bosman berisi video kegiatan Taring Padi "Bercermin dalam Lumpur". Dalam presentasi itu muncul foto mantan pacar di hampir setiap slide sedang memegang biola. "Ya ampun," saya membatin. Tampak di foto itu ia sedang mengajarkan anak-anak di sana untuk menyanyikan lagu Dendang Kampungan favorit saya "Mari Menggambar". Sedikit terbawa suasana lagu dan video tersebut, tanpa sadar saya bernyanyi keras sekali hingga seorang bapak pindah ke bangku belakang (ternyata beliau dipanggil ke belakang karena beliau adalah pembicara, hahaha). Sepanjang diskusi saya hanya berpikir, begitu banyak yang telah dilakukan oleh lembaga non pemerintah dan gerakan masyarakat untuk membantu korban lumpur ini, bahkan ibu-ibu pengajian di mana ibu saya biasa mengaji pun ikut berpartisipasi. Namun pihak yang lebih besar, yang seharusnya bertanggungjawab terhadap bencana ini seperti lepas tangan. Saya tidak bicara soal kompensasi, karena berjuta-juta uang kompensasi, baik yang telah dibayarkan maupun yang masih menunggak, tidak mampu menghapus duka.
Poster acara bertuliskan "Soro Bareng, Seneng Bareng" yang dimaksudkan baik, menuai protes warga. Mungkin maksud dari poster ini adalah dengan adanya kegiatan Bercermin dalam Lumpur warga akan merasa sedikit terhibur. Namun, peletakkan kata "Seneng Bareng" di sebelah kanan, ditafsirkan warga sebagai kondisi Porong masa kini. "Ini terbalik, sekarang 'soro'. Kok bisa sekarang seneng, mas? wong kita masih sengsara" begitu kira-kira ungkapan hati mereka. Nenek-nenek tetangga juga tahu, korban bencana lumpur sampai saat ini (dan mungkin selamanya) tidak pernah merasa senang. Kehilangan tempat tinggal yang memiliki nilai historis dan ekonomis adalah pukulan telak tak termaafkan. Sebagai penyelesaian, teman-teman di sana pun memutar otak, bagaimana menjelaskan frase "Soro Bareng, Seneng Bareng" dan akhirnya terciptalah sebuah penjelasan yang masuk akal "Bukan begitu Pak bacanya, tapi 'Soro-Seneng Bareng-Bareng' " dan warga pun mengamini. Ini ceritanya Bosman lho...
Saya tidak peduli dengan isi diskusi siang itu, karena menurut saya itu semua omong kosong, hanya sebatas riset dan buku yang diterbitkan. Aksi-aksi kecil-besar dari berbagai pihak juga tidak kunjung membuat kondisi ini membaik. Lantas tindakan apa yang tepat? Mungkin untuk sementara, gambar-gambar poster dan video Taring Padi berbicara JAUH LEBIH BANYAK daripada buku ini.
Empat Tahun Saya Menderita, Kapan Saya Bisa Hidup Sehat Lagi, Ok?
*) artinya "Susah Bareng, Senang Bareng". Poster bertuliskan kalimat ini ada dalam video di menit 05:15.