Wah, saya akhir-akhir ini menulis serius sekali dan tampaknya saya menemukan bahwa mungkin di sinilah saya bisa menulis agak lumayan sepertinya, bukan penulis fiksi. Asli, fiksi saya cupu banget. Sejauh ini ada dua tulisan reportase seminar: Sekolah Perempuan dan Peluncuran Buku Bencana Industri (versi lebih personal dan videonya ada di posting blog saya sebelumnya). Berikut adalah cuplikan dua tulisan yang di-posting di blog tempat saya bekerja.
Saatnya Perempuan Menjadi Agen Perdamaian Bagi Dirinya Sendiri, Keluarga dan Lingkungannya
Indriani Widiastuti
Program Officer the Interseksi Foundation
"Perempuan menjadi agen perdamaian". Kalimat itu tertulis pada undangan seminar yang diadakan oleh AMAN (Asian Muslim Action Network) Indonesia pada tanggal 26 Juli 2010. Kemudian saya membaca kalimat selanjutnya, "Bagaimana perempuan dapat menjadi agen perubahan di komunitas yang memiliki perbedaan karakter dan latar belakang agama, budaya, suku dan sisi kehidupan ekonomi sosial lainnya, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian". Seketika saya bersemangat mengikuti seminar ini, karena topiknya sangat menarik. Mengapa? Saya terbiasa berada di kumpulan yang mayoritas anggotanya adalah perempuan, gemar membuat kerajinan tangan dan berkesenian, sehingga saya pikir wacana ini sangat dekat dengan keseharian saya.
Seminar "Strategic Review Sekolah Perempuan untuk Perdamaian" ini ditujukan agar AMAN mendapat masukan dari pihak luar mengenai kegiatan yang sedang berlangsung hingga November 2010 ini di 4 (empat) tempat di Indonesia, yakni: Malei Lage dan Pamona (Poso), Kampung Sawah (Jakarta) dan Loji (Bogor). Sekolah Perempuan (SP) lahir dari inisiatif para perempuan pasca aksi bantuan bencana banjir di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Mereka berkeinginan menjaga tali silaturahmi dengan staf AMAN melalui sebuah forum. Sebelum bernama "Sekolah Perempuan", forum ini bernama "Az-Zahrah". Ternyata, forum tersebut bisa berkembang dan tidak terbatas pengajian saja, namun juga menjadi media perempuan saling bertukar pengalaman, menambah ilmu dan sarana bertukar informasi yang tidak mungkin disampaikan melalui media lain. Mungkin karena salah satu sifat dasar perempuan -yang saya rasakan juga dalam kelompok kecil saya tadi- yakni dapat saling percaya, mendukung dan menguatkan melalui interaksi dalam kelompok.
Dalam pelaksanaannya AMAN Indonesia memiliki tiga proses tahapan teknis pendidikan, yaitu: pra pembelajaran, proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Pra pembelajaran merupakan proses yang dilakukan sebelum memutuskan materi apa yang dirasa relevan untuk setiap wilayah, misalnya analisa struktur sosial pasca konflik di Poso. Proses pembelajaran adalah proses mediasi pengalaman-pengalaman perempuan menjadi pengetahuan bersama tentang pembangunan perdamaian. Dalam hal ini AMAN menyusun draft kurikulum yang harus diterapkan di setiap Sekolah Perempuan, untuk memastikan bahwa materi ajar yang diberikan adalah pengetahuan tentang perdamaian, bukan ekonomi atau politik. Sampai dengan hari diselenggarakannya seminar ini, kegiatan Sekolah Perempuan baru sampai pada tahap pembelajaran. Read more...
Dari Diskusi dan Peluncuran Buku "Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil" Jakarta, 5 Agustus 2010
Indriani Widiastuti
Program Officer, The Interseksi Foundation
Andaikata Twitter sudah menjadi tren nasional pada 2006, topik bencana Lumpur Lapindo pasti akan menjadi trending topic. Banyak orang membicarakannya, hingga pada akhirnya muncul perdebatan seru yang bermuara ke dua pilihan: populer habis-habisan atau jatuh ke tangan polisi (seperti Luna Maya dan Ariel). Lumpur Lapindo memang bukan Ariel dan Luna atau "Keong Racun" a la Sinta dan Jojo, yang mendapat reaksi begitu cepat di media dan dunia nyata. Bertahan selama seminggu sebagai trending topic di Twitter, diwawancarai infotainment sana-sini dan "dihantui" kepopuleran. Selain itu, mereka mendapat anugerah setimpal berupa kerja sama profesional di bawah manajemen Charly ST-12 dan mendapatkan beasiswa penuh hingga lulus kuliah, karena dianggap menaikkan status tempat perkuliahannya (sungguh, ini alasan yang aneh). Tidak habis pikir, empat tahun penuh penderitaan kalah telak dengan satu minggu selebritas instan.
Pada tanggal 5 Agustus 2010 lalu bertempat di gedung Jakarta Design Centre, Slipi, Desantara Foundation bekerja sama dengan Lafadl Initiatives mengadakan peluncuran buku kumpulan tulisan dengan tema bencana industri. Dominasi tulisan Bosman Batubara dan Paring Waluyo membuat tulisan lain di buku ini seakan "kalah pamor". Padahal pembahasannya mungkin tak kalah menarik, antara lain: permasalahan bencana versus perubahan sejarah kepemilikan tanah di Tanah Toa, Sulawesi Selatan, pengelolaan sumber daya alam berupa air di Pegunungan Kendeng Utara dan gas alam di Bojonegoro. Mungkin ada baiknya seperti yang disebutkan di prakata editor, jika buku ini muncul sendiri-sendiri.
Selama presentasi materi, jujur saja, satu-satunya yang lumayan menghibur adalah video presentasi yang berisi video kegiatan Taring Padi di Porong "Bercermin dalam Lumpur". Bosman Batubara dan Paring Waluyo memilih untuk menyoroti praktik bisnis dalam bencana Lumpur Lapindo. Dalam tulisannya yang berjudul "Praktik Bisnis di Banjir Lumpur", ia mensinyalir praktik bisnis ini berkembang menjadi politis karena muncul dalam konteks eksplorasi industri migas oleh Bakrie (pada saat itu beliau menjabat sebagai Menko Kesra Kabinet Indonesia Bersatu I). Read more...